===================================================
Laporan Penelitian
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semiotika
Arif Budiman
1009670
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Semiotika
Arif Budiman
1009670
Cerita
Sangkuriang merupakan cerita rakyat (folklore) Tatar Sunda bergenre
dongeng. Menurut golongannya termasuk ke dalam jenis legenda, yaitu
cerita yang mengisahkan asal-usul terjadinya suatu tempat, binatang,
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Cerita Sangkuriang adalah legenda yang mengisahkan asal-usul terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.
Pada awalnya, cerita yang tidak pernah diketahui pengarangnya ini, hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda sebagai tradisi lisan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Hal inilah yang mengundang perdebatan tentang keberadaan cerita Sangkuriang dalam khasanah sastra. Seperti yang kita ketahui beberapa kalangan masih terjebak pada pengertian sastra sebagai karya imajiner yang tercetak dalam bentuk tulisan.
Akan tetapi, setelah cerita Sangkuriang ditransformasi ke dalam bentuk tulisan kiranya keberadaan cerita Sangkuriang dalam dunia sastra sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Berbagai bentuk dan versi cerita yang hadir di tengah-tengah masyarakat merupakan bukti diterimanya cerita legenda Sangkuriang dalam kesusastraan. Tidak hanya terbatas dalam bingkai kedaerahan (Sunda) tetapi cerita legenda Sangkuriang kini sudah menjadi milik Indonesia.
Pada tahun 80-an cerita Sangkuriang sangat akrab di telinga para pemirsa radio. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu penggemar acara dongeng. Adalah Uwa Kepoh, Mang Bana, Mang Jaya, Mang Eka, dan sederet pendongeng lainnya adalah sosok-sosok yang berjasa menghidupkan dan melestarikan cerita Sangkuriang melalui stasion radio ke tengah-tengah masyarakat. Secara tidak langsung mereka pulalah yang mengajak pemirsa mengkritisi dan mengapresiasi isi cerita Sangkuriang. Dalam era moderen, bagi beberapa orang produser, cerita Sangkuriang merupakan cerita rakyat yang memiliki nilai jual. Mereka mengangkatnya ke dalam bentuk sinema filem dan sinetron.
Bagi para sastrawan, cerita Sangkuriang menjadi sumber inspirasi berkarya sastra. Cerita Sangkuriang telah mengilhami para sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam, 1) Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik - Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946; 2) Bentuk Gending Karesmen (opera): Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga, 1973; 3) Bentuk Sajak: Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 1962 - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan Bahtera, 1989- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992. Cerita Sangkuriang juga menarik minat para akademisi mengkajinya dari sudut keilmuan. Suhandi (1994) dalam skripsinya menulis, Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda.
Data yang tertulis di atas sebatas yang penulis sempat ketahui, tentu masih bertebaran wacana dan aspek folklorik lainnya yang berhubungan dengan cerita Sangkuriang. Hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan kajian dengan menggunakan kerangka semiotika untuk menemukan makna dari cerita legenda tersebut. Memberi makna itu sendiri tiada lain pembacaan atau menafsirkan kode-kode bahasa yang tertuang dalam cerita Sangkuriang. Kode-kode tersebut dapat diungkap dari amanat yang terkandung dalam isi ceritanya. Oleh sebab itu, kajian dalam rangka memahami amanat cerita Sangkuriang menjadi sangat penting untuk menginterpretasi sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan kode-kode tersebut mempunyai arti.
Kode-kode yang ada dalam cerita Sangkuriang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan pengarangnya. Untuk itu diperlukan suatu analisis atau telaah karya sastra untuk menemukan pengalaman, pikiran, perasaan, dan gagasan yang tertuang dalam bentuk amanat yang hendak disampaikan kepada pembaca. Pemahaman amanat merupakan tujuan akhir dari setiap pembahasan dalam mengkaji karya sastra. Maka analisis atau telaah itu belumlah sempurna atau tuntas apabila belum menemukan amanat yang tersembunyi dalam suatu karya sastra.
tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Cerita Sangkuriang adalah legenda yang mengisahkan asal-usul terciptanya danau Bandung, Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Burangrang dan Gunung Bukit Tunggul.
Pada awalnya, cerita yang tidak pernah diketahui pengarangnya ini, hidup di tengah-tengah masyarakat Sunda sebagai tradisi lisan yang diwariskan turun temurun dari generasi ke generasi. Hal inilah yang mengundang perdebatan tentang keberadaan cerita Sangkuriang dalam khasanah sastra. Seperti yang kita ketahui beberapa kalangan masih terjebak pada pengertian sastra sebagai karya imajiner yang tercetak dalam bentuk tulisan.
Akan tetapi, setelah cerita Sangkuriang ditransformasi ke dalam bentuk tulisan kiranya keberadaan cerita Sangkuriang dalam dunia sastra sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Berbagai bentuk dan versi cerita yang hadir di tengah-tengah masyarakat merupakan bukti diterimanya cerita legenda Sangkuriang dalam kesusastraan. Tidak hanya terbatas dalam bingkai kedaerahan (Sunda) tetapi cerita legenda Sangkuriang kini sudah menjadi milik Indonesia.
Pada tahun 80-an cerita Sangkuriang sangat akrab di telinga para pemirsa radio. Kehadirannya selalu ditunggu-tunggu penggemar acara dongeng. Adalah Uwa Kepoh, Mang Bana, Mang Jaya, Mang Eka, dan sederet pendongeng lainnya adalah sosok-sosok yang berjasa menghidupkan dan melestarikan cerita Sangkuriang melalui stasion radio ke tengah-tengah masyarakat. Secara tidak langsung mereka pulalah yang mengajak pemirsa mengkritisi dan mengapresiasi isi cerita Sangkuriang. Dalam era moderen, bagi beberapa orang produser, cerita Sangkuriang merupakan cerita rakyat yang memiliki nilai jual. Mereka mengangkatnya ke dalam bentuk sinema filem dan sinetron.
Bagi para sastrawan, cerita Sangkuriang menjadi sumber inspirasi berkarya sastra. Cerita Sangkuriang telah mengilhami para sastrawan untuk mewujudkannya dalam karya sastra seperti dalam, 1) Bentuk Cerita : Sang Koeriang, A.C. Deenik - Gunung Tangkuban Parahu, R. Satjadibrata, 1946; 2) Bentuk Gending Karesmen (opera): Sangkuriang Larung, Hidayat Suryalaga, 1973; 3) Bentuk Sajak: Sangkuriang, Hasan Wahyu Atmakusumah, 1955 - Ngabendung Situ, Ajip Rosidi, 1962 - Sang Kuriang, Beni Setia, 1972 - Tapak Sangkuriang, Dadan Bahtera, 1989- Sangkuriang Kabeurangan, Wahyu Wibisana, 1992. Cerita Sangkuriang juga menarik minat para akademisi mengkajinya dari sudut keilmuan. Suhandi (1994) dalam skripsinya menulis, Pergeseran Fungsi Mitos Sangkuriang dari Cerita Sangkuriang ke dalam Sajak Sunda.
Data yang tertulis di atas sebatas yang penulis sempat ketahui, tentu masih bertebaran wacana dan aspek folklorik lainnya yang berhubungan dengan cerita Sangkuriang. Hanya saja sampai saat ini penulis belum menemukan kajian dengan menggunakan kerangka semiotika untuk menemukan makna dari cerita legenda tersebut. Memberi makna itu sendiri tiada lain pembacaan atau menafsirkan kode-kode bahasa yang tertuang dalam cerita Sangkuriang. Kode-kode tersebut dapat diungkap dari amanat yang terkandung dalam isi ceritanya. Oleh sebab itu, kajian dalam rangka memahami amanat cerita Sangkuriang menjadi sangat penting untuk menginterpretasi sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan kode-kode tersebut mempunyai arti.
Kode-kode yang ada dalam cerita Sangkuriang adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan pengarangnya. Untuk itu diperlukan suatu analisis atau telaah karya sastra untuk menemukan pengalaman, pikiran, perasaan, dan gagasan yang tertuang dalam bentuk amanat yang hendak disampaikan kepada pembaca. Pemahaman amanat merupakan tujuan akhir dari setiap pembahasan dalam mengkaji karya sastra. Maka analisis atau telaah itu belumlah sempurna atau tuntas apabila belum menemukan amanat yang tersembunyi dalam suatu karya sastra.
Posting Komentar